Ayat Bacaan: Yohanes 21:17
Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: "Apakah engkau mengasihi Aku?" Dan ia berkata kepada-Nya: "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku."
Tuhan Yesus memiliki cara yang ajaib untuk memulihkan kembali manusia yang pernah meninggalkan dan mengabaikan-Nya. Luar biasanya adalah bahwa Dia tidak mempermalukan kita. Dia tidak mengkritik kita seperti kebanyakan orang yang merasa rohaninya lebih tinggi. Ia juga tidak memaksa kita untuk berusaha lebih keras lagi. Sebaliknya, Ia meminta kita dengan suara yang lembut agar kita meneguhkan kembali kasih kita kepada-Nya. Yesus langsung menyentuh akar permasalahannya.
Petrus pernah meninggalkan Yesus tatkala ia melarikan diri bersama para murid lainnya dari taman Getsemani. Bahkan di hadapan banyak orang, Petrus menyangkal bahwa ia pernah mengenal Yesus. Petrus mungkin akan terheran-heran bila ia masih bisa menjadi murid Yesus, padahal ia tidak setia kepada Yesus tatkala Gurunya berada pada saat-saat yang genting. Sebelumnya, Petrus pernah berkata, "Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau!" (Lukas 22:33) Pada kenyataannya, jawaban Petrus sering tidak jauh berbeda dengan jawaban dan praktik hidup kita.
Tatkala kita memulai suatu tahun yang baru, kita mungkin dengan pedih menyadari bahwa kita telah meninggalkan-Nya dan menyangkal-Nya dalam berbagai cara. Mungkin kita telah meninggalkan dan menyangkal-Nya karena kita hidup dengan tidak setia; atau mungkin juga karena kita tidak taat pada firman-Nya. Mungkin kita telah meninggalkan dan menyangkal-Nya lewat cara hidup kita yang menyakitkan hati-Nya.
Perhatikanlah, apa yang Yesus lakukan bagi kita? Yang Ia akan lakukan adalah Ia akan bertanya kepada kita seperti yang pernah Ia lakukan terhadap Rasul Petrus. Ia tidak mencaci-maki kita. Ia tidak akan mempermalukan kita. Ia tidak mengejar-ngejar kita dengan dakwaan. Ia hanya akan bertanya di dalam batin kita, "Apakah engkau mengasihi-Ku?" Jika jawabanmu seperti jawaban Petrus, "Ya Tuhan", maka Ia akan meneguhkan kembali kehendak-Nya dalam diri kita. Jika kita sungguh mengasihi-Nya, kita akan menaati perintah-Nya (Yohanes 14:15). Kasih kita kepada Tuhan mengawali dan membuka jalan untuk sebuah ketaatan kepada Tuhan.
Kita sering menyatakan keyakinan kita bahwa kita mengasihi Allah tetapi pada saat yang sama kita menyadari bahwa kita ternyata lebih sering bertindak sebaliknya -- lebih mengasihi diri kita sendiri. Penghalang utama mengapa kita mengasihi Allah dalam situasi yang maju mundur tidak terletak pada faktor luar tetapi terletak di dalam diri kita sendiri yakni pada "kehendak manusia kita atau kehendak kita sendiri". Pada kenyataannya, kita lebih suka berbicara mengenai kehendak-Nya daripada melakukannya. Ingatlah, kita tidak dapat mengerjakan kehendak Allah apabila kita terus sibuk mengerjakan kehendak kita sendiri. Kita tidak dapat bersungguh-sungguh berdoa, "Datanglah kerajaan-Mu" sampai kita secara resmi berdoa, "kerajaanku pergilah" [Tim Impian Tuhan, 23].
Ketidakpercayaan dan kekerasan hati kita akan hak dan agenda pribadi kita adalah belenggu yang mengikat sehingga kehendak Allah tidak dapat turun dan masuk dalam hidup dan pelayanan kita. Banyak di antara kita lebih suka mengutamakan agenda kita daripada agenda Allah. Banyak di antara kita lebih tertarik pada hal menjaga hak-hak kita daripada mengejar maksud-maksud Tuhan. [Tim Impian Tuhan, 34].
Ego kita sering mengesampingkan penalaran kita. Kita lebih suka kalah dengan kehendak yang tak terpatahkan daripada menang dan menjadi tunduk. Penyembahan terhadap kehendak bebas dan promosi kita terhadap agenda pribadi menjelaskan mengapa kita sebagai gereja, gagal bergumul untuk dapat mengasihi Allah lebih dalam lagi. Ketidaktaatan dan ketidaktundukan kita menjual kredibilitas kita. Tidak ada alasan bagi dunia untuk percaya bahwa kita berasal dari Allah bila kita bertindak seperti Iblis. [Tim Impian Tuhan, 30]. Tatkala Stalin dalam keadaan sekarat mengepalkan tinjunya ke arah langit, hal itu jelas menunjukkan bahwa ia tidak berasal dari Allah.
"Seandainya seorang raja mencintai pelayannya yang miskin," begitulah seorang filsuf Denmark, Soren Arby Kierkegaard (1813-1855), mengawali perumpamaannya. Bagaimana cara sang raja menyatakan cintanya kepada pelayan itu? Mungkin sang pelayan akan menanggapinya karena takut atau terpaksa, padahal sang raja ingin pelayan itu mencintainya dengan tulus. Maka kemudian sang raja yang sadar bahwa ia tidak boleh tampil sebagai raja bila tak ingin menghancurkan kebebasan orang yang dikasihinya, memutuskan untuk menjadi orang biasa. Ia meninggalkan takhtanya, melepas jubah kebesarannya, dan memakai pakaian compang-camping. Ia bukan hanya menyamar, tetapi benar-benar memiliki identitas baru. Ia sungguh-sungguh menjadi pelayan untuk memikat hati sang pelayan muda yang dicintainya. Ini layaknya sebuah taruhan. Pelayan itu mungkin akan mencintainya, atau justru menolaknya habis-habisan sehingga ia tidak akan mendapatkan cintanya seumur hidupnya! Hal yang sama, pilihan yang diberikan Allah kepada manusia, dan tentu saja, itulah makna perumpamaan di atas. Tuhan kita merendahkan diri-Nya untuk memenangkan hati kita. "Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri (Filipi 2:5-7).
Sekarang, ada pertanyaan untuk direnungkan, "Akankah kita mengasihi-Nya lebih dalam lagi atau kita menolak, mengabaikan, atau bahkan meninggalkan-Nya?"
Lalu apa yang harus saya perbuat?
Kita membutuhkan pertolongan Roh Tuhan. Roh Kudus harus menempelak kita, roh ketaatan dan ketundukan harus melingkupi kita, atau kita sama sekali tidak akan pernah mencapai apa yang Tuhan inginkan untuk kita lakukan yaitu: "mengasihi Dia lebih dalam lagi" [Tim Impian Tuhan, 41].
Memang, tidak mudah membuat komitmen untuk mengasihi Allah dan setia menjalaninya. Komitmen kita seringkali tidak mampu mencapai masa yang panjang. Stamina rohani kita tidak selalu berada dalam kondisi puncak. Bila dikalkulasikan, mungkin catatan kegagalan kita untuk memenuhi komitmen yang kita buat sendiri akan terlihat menumpuk. Kegagalan demi kegagalan mewarnai perjalanan iman kita. Inilah cermin dari natur lama kita sebagai manusia yang lemah dan berdosa. Kini, di hadapan kita terbentang tahun yang baru untuk ditempuh dan Ia hanya minta satu hal: "lebih dalam lagi mengasihi-Nya."
Yesus tidak membutuhkan hal lain dari kita selain komitmen kita, yang meskipun berulang-ulang jatuh dan bangun, dan janji-janji kita yang coba kita penuhi dengan lebih keras lagi di tahun baru ini. Jika tekad kita menaati Allah, lalu ternyata tidak menolong kita untuk setia, maka itu juga yang akan membuat kita tidak berhasil di tahun baru ini, maka itu artinya kita telah salah bertindak. Yesus hanya meminta kasihmu. Jika kita sungguh-sungguh mengasihi-Nya, maka baik sikap, ketundukan maupun penyerahan diri, bahkan pelayanan kita kepada-Nya di tahun yang baru ini akan lebih berkualitas seperti yang Ia kehendaki.
Doa: Tuhan kami ingin menjadikan Engkau sebagai Tuhan atas hidup kami dan tidak hanya sekadar memanggil Engkau Tuhan. Roh Kudus, kami memohon kiranya Engkau meyakinkan dan menyempurnakan kami sehingga kami dapat mencapai apa yang Bapa ingin kami lakukan. Kami berdoa agar kerajaan kami lenyap sehingga kerajaan-Mu yang hadir dan Engkau bertakhta dalam hati kami. Kiranya kehendak kami dihancurkan sehingga kehendak-Mu dapat terlaksana di bumi seperti di surga. Amin.
sumber: http://c3i.sabda.org/mengasihi_allah_lebih_dalam_lagi